Monday, May 29, 2017

Menjadi Manusia Penyayang.

Di Ubud Monkey Forest Bali, tahun lalu, menyalami kawan.

Malam hari di bulan puasa, kami berusaha untuk sholat tarawih berjamaah di masjid dekat rumah kami. Setidaknya sampai mulai ada undangan buka bersama haha.. Untuk menuju masjid, kami melewati sebuah rumah yang memelihara beberapa ekor anjing, yang (salah satu atau beberapa) selalu menyalak jika ada pejalan kaki lewat di depan rumah tersebut.

Tadi malam, saat melewati rumah itu di perjalanan pulang, seperti biasa ada gonggongan menyapa kami. Kami tidak takut atau lari, karena anjing-anjing di rumah itu dikurung dalam kandang.
"Kasihan sebenarnya, anjing-anjing itu dikurung," kataku pada Ibit.
Ibit lalu bercerita, bertahun-tahun yang lalu ketika dia masih SD, di rumah itu hanya ada seekor anjing. Anjing itu kurus dan tampak tidak terurus. Waktu itu Ibit masih sering jalan kaki ke rumah temannya di dekat masjid.
"Kalau main ke rumah Nabila, aku bawa satu sosis dari rumah untuk anjing itu."
Anjing kurus itu, kata Ibit, harusnya gagah, seperti Timmy anjing anggota Lima Sekawan. Tapi kurus sampai terlihat tulangnya, dan bulunya kusut kusam.
Entah apakah anjing itu masih anjing yang sama sekarang, pasti sudah sangat tua. Entah apakah juga pemilik  yang sama. Kami tidak pernah melihat manusia pemiliknya.
.
Aku tidak akan tahu, kalau Ibit tidak bercerita tadi malam. Aku tidak tahu, kenapa Ibit baru bercerita sekarang. Mungkin dia takut aku melarang dia mengambil sosis untuk anjing. Padahal sekarang, aku hampir menitikkan air mata, haru dan bangga, karena anakku memiliki rasa iba pada makhluk yang menderita. Iya, makhluk yang oleh banyak orang dibenci karena najis.
.
"Kalau tidak najis, aku pengin memelihara anjing," kata Ibit.
Iya, aku juga. Karena anjing lebih cerdas dan lebih perasa ketimbang kucing. Sayangnya akan sangat repot buat kami untuk memelihara anjing tanpa merantai atau mengurungnya di kandang.
Maka cukuplah kami memelihara kucing. Dan aku yakin, ketika bahkan agama dapat dijadikan alasan permusuhan; berteman dengan binatang akan menumbuhkan kasih sayang. Bukan hanya pada sesama manusia (terlebih pada sesama manusia), tapi juga pada makhluk Tuhan lainnya.
Supaya jangan pernah terlintas sekelebatan pun di benak mereka, benci, apalagi kata 'bunuh'.

Thursday, May 11, 2017

(my) fear

1. I used to keep him away from crowd. crowd stresses him. and handling his tantrum in a crowd stresses me.
2. he doesn't like restaurant or any public meal places. he doesn't like to eat in public places. he would hide under a table. or walked away and stand in a corner. or worse: tantrum.
so I've been such a coward, fear to the stress, always chose to leave him at home with Nanny of I had to attend an event.
.
I can just keep him away from those discomfort. but that's a little bit inconvenience. and I thought it's another battle I should fight. so I started to bring him to event with few people, less noise. always keep an eye and notice when he starts to feel uncomfortable, time to get out.
he enjoys mall because there are many 'attractions'. colors and lamps.
he doesn't like loud sounds but, he enjoys music. he can stay for dew songs and gives applause after every song.
the key is building comfort zone in the middle of un comforts.
.
he's my hero today.
we attended a wedding party just both him and me. we started the trip with a little battle. he wanted to stay at home and play PS. he wanted me to stay at home too. then he let me go and he would stay. then he wanted to go with me. or play PS at home. or go with me. or stay at home. a little battle inside him that blew out. the tantrum still went on until about 20 minutes in the car as we were going out.
but it turned out great. he liked walking around and adore the decorations. he enjoyed the music. and, didn't refuse to eat.
.
fear will always be fear until
you face it.